Minggu, 11 November 2012

Euthanasia makalah agama



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT karena berkat rahmat dan  hidayahnya, kami dapat menyusun makalah ini yaitu tentang “Euthanasia”. Tak lupa pula shalawat dan salam kami curahkan pada nabi besar kami Muhammad SAW, yang telah senantiasa membimbing kami dijalannya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.
Akhirnya dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan baik dalam tata bahasa, penyusunan, penulisan maupun pembahasan. Mudah-mudahan penyusunan dan penulisan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai acuan serta masukan untuk makalah selanjutnya.





Sukabumi,   November 2012




Penyusun















DAFTAR ISI




KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang....................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C.       Tujuan Penulisan Makalah..................................................................... 2
D.       Manfaat Penulisan Makalah................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian euthanasia............................................................................. 3
B.     Euthanasia dalam ajaran Islam............................................................... 4
C.     Euthanasia dalam ajaran Hindu............................................................. 7
D.    Euthanasia dalam ajaran Budha............................................................. 8
E.     Hak Pasien dan Pembatasannya............................................................. 9
F.      Kewajiban Perawat dalam Kasus Euthanesia........................................ 9
G.    Beberapa aspek Euthanesia................................................................... 10
H.    Euthanasia di pandang dari aspek hukum di Indonesia........................ 12
I.       Kode Etik Indonesia............................................................................. 13

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................... 14
B.     Saran..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Beberapa waktu yang lalu masalah euthanasia mulai sering dibicarakan oleh masyarakat indonesia.Euthanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk pengakhiran hidup kepada seseorang yang mengalami sakit berat/parah dengan kematian tenang dan mudah atas nama perikemanusiaan.
Berkembang nya polemik di masyarakat antara masalah hak asasi manusia dengan kepercayaan bahwa awal dan akhir hidup manusia ada di tangan tuhan.Penyebab kasus euthanasia menjadi hal yang cukup menarik untuk dibahas.Adanya teknologi canggih dibidang medis,maka apa yang menurut ukuran masa lalu seharusnya orang dikatakan sudah mati,kini dia dapat bertahan hidup walaupun hanya secara vegetatif.
Oleh karena itu,setiap orang mempunyai hak hidup,maka setiap orang juga mempunyai hak untuk memilih kematian yang di anggap menyenangkan bagi dirinya.Kematian yang menyenangkan inilah yang kemudian memunculkan istilah euthanasia.Dalam euthanasia orang yang melakukan tidak dapat dikatakan sebagai pembunuh karena euthanasia dibedakan dari pembunuhan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang jadi permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah euthanasia ditinjau dari agama islam ?
2.      Bagaimanakah euthanasia ditinjau dari agama hindu ?
3.      Bagaimanakah euthanasia ditinjau dari agama budha ?


C.    Tujuan penulisan makalah
Makalah ini diajukan dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas kelompok,bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang materi euthanasia.

D.    Manfaat penulisan makalah
Kegunaan penulisan makalah ini diharapkan akan memberikan masukan secara teoritis.
Aspek teoritis,makalah ini diharapkan dapat memperluas tentang pengetahuan mengenai materi euthanasia ini sehingga kita dapat tercegah dari gangguan itu dan kita menjadi lebih tahu tentang euthanasia.



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Euthanasia
1.      Menurut kamus bahasa inggris: tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat.
2.      Menurut kamus kedokteran: mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian yang tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaannya.
3.      Menurut kamus keperawatan: secara harfiah, istilah ini berarti kematian yang mudah. Tindakan untuk meringankan penderitaan yang hebat pada penderita penyakit yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi, dengan jalan memicu kematiannya, misalnya dengan pemberian opiat overdosis.
Sekarang ini euthanasia merupakan tindakan ilegal di UK dan ditentang oleh banyak kelompok profesional kendati dilakukan pada sebagian negara Erofa, termasuk Belanda.
4.      Menurut kode etik dan topik-topik yang berkaitan: euthanasia adalah kematian yang direncanakan terhadap diri seseorang yang kalau tidak menjalani tindakan euthanasia akan mengalami kematian sendiri pada suatu saat. Kematian dalam euthanasia merupakan akibat dari serangkaian intervensi medis oleh petugas kesehatan yang dilakukan atas permintaan pasien/individu untuk mengakhiri kehidupannya secara cepat, terkendali dan bebas dari nyeri.
Sebagaimana materi yang disampaikan untuk dibahas di antara para petugas pelayanan kesehatan dan anggota masyarakat, euthanasia meliputi permintaan orang dewasa yang dilakukan secara sadar untuk mengakhiri kehidupannya dengan bantuan dokter karena mereka-kini atau mungkin pada suatu saat nanti-akan mengalami penderitaan atau tersiksa oleh rasa sakit, menderita penyakit degeneratif atau sakit yang terminal, atau berada dalam keadaan antara hidup dan mati, misalnya keadaan vegetatif yang persisten. Di Inggris (UK), tindakan euthanasia dilarang sebagaimana di Indonesia. Ikatan dokter Inggris (BMA; British Medical Association) dan perhimpunan perawatnya (RCN; Royal College of Nursing) menentang setiap gerakan ke arah legalisasi euthanasia. Masalah ini merupakan persoalan yang sangat sensitif dan banyak orang yang merasa tidak nyaman untuk membicarakan prospek euthanasia yang legalisasi.
Living will atau surat wasiat yang sudah ditandatangani sebelumnya oleh pasien atau orang lain tentang pilihan pengobatan dan tingkat intervensi yang mereka inginkan jika mereka menjadi tidak berdaya sehingga tidak mampu untuk menyatakan keinginannya lagi di depan para petugas pelayanan kesehatan. Surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, namun pelanggaran terhadap keinginan pasien yang sudah dinyatakan secara tertulis dapat menimbulkan persoalan hukum.

B.     Euthanasia dalam ajaran Islam
Definisi: pandangan syariah islam, syariah islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1.     Euthanasia Aktif : syariah islam mengharaamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori al-qatlu al-‘amad (pembunuhan sengaja), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dan dalam hal ini pun tedapat dalil-dalil yang sangat jelas, yaitu dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
 dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Alloh (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-an’aam: 151)
dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) …” (QS An-nisaa’ :92)
dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Alloh adalah Maha penyayang kepadamu.” (QS An-nisaa’: 29)
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter untuk melakukan euthanasia aktif.
Sebab tindakan itu termasuk dalam katergori al-qatlu al-‘amad (pembunuhan sengaja) yang merupakan tindak jarimah (pidana) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana islam akan dijatuhi qishas (hukuman mati karena membunuh), oleh khalifah (pemerintahan islam), sesuai firman Alloh:
“telah diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-baqarah: 178)
Namun jika waliyyul maqtuul (keluarga terbunuh) menggugurkan qishas (dengan memaafkan), qishas tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Alloh SWT : “maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). “(QS Al-baqarah :178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta dimana 40 ekor di dalamnya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadist Nabi riwayat An-nasa’I (al-maliki,1990:111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar=4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham=2,975) (Al-maliki, 1990:113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alsan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Alloh kepadanya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, “ tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Alloh menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

2. Euthanasia pasif : adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya                faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernafasan buatan dari tubuh pasien.
Sekarang bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh?  Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat, Diantaranya:
a.             Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh syaikhul islam ibnu taimiyah.
b.            Menurut Abdul Qadim Zallum, hukum berobat adalah mandub, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadist, dimana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).

Di antara hadist-hadist tersebut, adalah hadist bahwa Rasullah SAW bersabda :
1)      “sesungguhnya Alloh Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari anas RA)
Hadist di atas menunjukan Rasullah SAW memerintahkan untuk berobat.
2)      Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul: al-ashlu fi al-amri li ath-thalab
“perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukan adanya tuntutan.” (An-nabhani, 1953)

C.    Euthanasia dalam ajaran Hindu
Definisi: dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma , moksa dan ahimsa .
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma & quot; buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

D.    Euthanasia dalam ajaran Budha
Definisi: dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut diatas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut. [24]
Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya ( Yahudi dan Kristen ), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim ( dokter ) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

E.     Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.

F.     Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
1.      memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
2.      membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
3.      mengoptimalkan system dukungan
4.      membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
5.      membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya.

G.    Beberapa aspek euthanasia.
1.      Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
2.      Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3.      Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4.      Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

H.    Euthanasia dipandang dari aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
ü  Pasal 344 KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
ü  Pasal 338 KUHP        
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
ü  Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di            hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
ü  Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
ü  Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

I.       KODE ETIK INDONESIA
1.      Berpindah ke alam baka dengan tenang daN aman tanpa penderitaan dan bagi  Mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang
3.      Mengakhiri penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya









BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Euthanasia merupakan suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena dengan tujuan meringankan penderitaan baik dengan cara positif maupun negatif.
Perbuatan itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan.

  1. Saran
Setelah kita mengetahui pengertian euthanasia dan euthanasia menurut ajaran agama-agama, kita hendaklah mengamalkan hal yang sudah kita ketahui menurut agama yang kita anut, agar ilmu yang kita pelajari menjadi bermanfaat.




DAFTAR PUSTAKA



http://belajarsukes.blogspot.com/2011/03/makalah-euthanasia.html

 


           
                                               
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama





Disusun oleh,
Kelompok 6
Reguler 2

Susi Setiawati
Resi
Selpi Anggraeni
Eneng Silvi
Imut Nurtitah
Widia Ratnasari








PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN
POLTEKES YAPKESBI SUKABUMI
2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar