KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat
Alloh SWT karena berkat rahmat dan
hidayahnya, kami dapat menyusun makalah ini yaitu tentang “Euthanasia”.
Tak lupa pula shalawat dan salam kami curahkan pada nabi besar kami Muhammad
SAW, yang telah senantiasa membimbing kami dijalannya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapatkan bantuan
serta bimbingan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.
Akhirnya dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari
masih banyak kekurangan baik dalam tata bahasa, penyusunan, penulisan maupun
pembahasan. Mudah-mudahan penyusunan dan penulisan makalah ini dapat bermanfaat
dan dapat dijadikan sebagai acuan serta masukan untuk makalah selanjutnya.
Sukabumi, November 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C.
Tujuan Penulisan Makalah..................................................................... 2
D.
Manfaat Penulisan Makalah................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian euthanasia............................................................................. 3
B.
Euthanasia dalam ajaran Islam............................................................... 4
C.
Euthanasia dalam ajaran Hindu............................................................. 7
D.
Euthanasia dalam ajaran Budha............................................................. 8
E.
Hak Pasien
dan Pembatasannya............................................................. 9
F.
Kewajiban
Perawat dalam Kasus Euthanesia........................................ 9
G.
Beberapa
aspek Euthanesia................................................................... 10
H.
Euthanasia di
pandang dari aspek hukum di Indonesia........................ 12
I.
Kode Etik
Indonesia............................................................................. 13
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................... 14
B.
Saran..................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Beberapa waktu
yang lalu masalah euthanasia mulai sering dibicarakan oleh masyarakat
indonesia.Euthanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk pengakhiran
hidup kepada seseorang yang mengalami sakit berat/parah dengan kematian tenang
dan mudah atas nama perikemanusiaan.
Berkembang nya
polemik di masyarakat antara masalah hak asasi manusia dengan kepercayaan bahwa
awal dan akhir hidup manusia ada di tangan tuhan.Penyebab kasus euthanasia
menjadi hal yang cukup menarik untuk dibahas.Adanya teknologi canggih dibidang
medis,maka apa yang menurut ukuran masa lalu seharusnya orang dikatakan sudah
mati,kini dia dapat bertahan hidup walaupun hanya secara vegetatif.
Oleh karena
itu,setiap orang mempunyai hak hidup,maka setiap orang juga mempunyai hak untuk
memilih kematian yang di anggap menyenangkan bagi dirinya.Kematian yang
menyenangkan inilah yang kemudian memunculkan istilah euthanasia.Dalam
euthanasia orang yang melakukan tidak dapat dikatakan sebagai pembunuh karena
euthanasia dibedakan dari pembunuhan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang jadi permasalahan dalam
makalah ini adalah:
1.
Bagaimanakah euthanasia
ditinjau dari agama islam ?
2.
Bagaimanakah euthanasia
ditinjau dari agama hindu ?
3.
Bagaimanakah euthanasia
ditinjau dari agama budha ?
C.
Tujuan penulisan makalah
Makalah ini
diajukan dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas kelompok,bertujuan untuk
memperoleh gambaran tentang materi euthanasia.
D.
Manfaat penulisan makalah
Kegunaan penulisan
makalah ini diharapkan akan memberikan masukan secara teoritis.
Aspek teoritis,makalah ini diharapkan
dapat memperluas tentang pengetahuan mengenai materi euthanasia ini sehingga
kita dapat tercegah dari gangguan itu dan kita menjadi lebih tahu tentang
euthanasia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Euthanasia
1.
Menurut kamus bahasa inggris:
tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat.
2.
Menurut kamus kedokteran:
mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian yang tenang
dan mudah untuk menamatkan penderitaannya.
3.
Menurut kamus keperawatan: secara
harfiah, istilah ini berarti kematian yang mudah. Tindakan untuk meringankan
penderitaan yang hebat pada penderita penyakit yang sudah tidak bisa
disembuhkan lagi, dengan jalan memicu kematiannya, misalnya dengan pemberian
opiat overdosis.
Sekarang ini euthanasia merupakan tindakan ilegal di UK
dan ditentang oleh banyak kelompok profesional kendati dilakukan pada sebagian
negara Erofa, termasuk Belanda.
4.
Menurut kode etik dan
topik-topik yang berkaitan: euthanasia adalah kematian yang direncanakan
terhadap diri seseorang yang kalau tidak menjalani tindakan euthanasia akan mengalami
kematian sendiri pada suatu saat. Kematian dalam euthanasia merupakan akibat
dari serangkaian intervensi medis oleh petugas kesehatan yang dilakukan atas
permintaan pasien/individu untuk mengakhiri kehidupannya secara cepat,
terkendali dan bebas dari nyeri.
Sebagaimana materi yang disampaikan untuk dibahas di
antara para petugas pelayanan kesehatan dan anggota masyarakat, euthanasia
meliputi permintaan orang dewasa yang dilakukan secara sadar untuk mengakhiri
kehidupannya dengan bantuan dokter karena mereka-kini atau mungkin pada suatu
saat nanti-akan mengalami penderitaan atau tersiksa oleh rasa sakit, menderita
penyakit degeneratif atau sakit yang terminal, atau berada dalam keadaan antara
hidup dan mati, misalnya keadaan vegetatif yang persisten. Di Inggris (UK),
tindakan euthanasia dilarang sebagaimana di Indonesia. Ikatan dokter Inggris
(BMA; British Medical Association) dan perhimpunan perawatnya (RCN; Royal
College of Nursing) menentang setiap gerakan ke arah legalisasi euthanasia.
Masalah ini merupakan persoalan yang sangat sensitif dan banyak orang yang
merasa tidak nyaman untuk membicarakan prospek euthanasia yang legalisasi.
Living will atau surat wasiat yang sudah ditandatangani sebelumnya oleh pasien
atau orang lain tentang pilihan pengobatan dan tingkat intervensi yang mereka
inginkan jika mereka menjadi tidak berdaya sehingga tidak mampu untuk
menyatakan keinginannya lagi di depan para petugas pelayanan kesehatan. Surat
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, namun pelanggaran
terhadap keinginan pasien yang sudah dinyatakan secara tertulis dapat
menimbulkan persoalan hukum.
B.
Euthanasia dalam ajaran Islam
Definisi: pandangan syariah islam,
syariah islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan
di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia,
baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1. Euthanasia Aktif : syariah islam mengharaamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori al-qatlu al-‘amad (pembunuhan sengaja), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dan dalam hal ini pun tedapat dalil-dalil yang sangat
jelas, yaitu dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain,
maupun membunuh diri sendiri.
“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Alloh (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS Al-an’aam: 151)
“dan tidak layak
bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja) …” (QS An-nisaa’ :92)
“dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Alloh adalah Maha penyayang kepadamu.” (QS
An-nisaa’: 29)
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya
bagi dokter untuk melakukan euthanasia aktif.
Sebab tindakan itu termasuk dalam katergori al-qatlu
al-‘amad (pembunuhan sengaja) yang merupakan tindak jarimah (pidana) dan dosa
besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan
memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana islam akan dijatuhi qishas
(hukuman mati karena membunuh), oleh khalifah (pemerintahan islam), sesuai
firman Alloh:
“telah diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-baqarah: 178)
Namun jika waliyyul maqtuul (keluarga terbunuh)
menggugurkan qishas (dengan memaafkan), qishas tidak dilaksanakan. Selanjutnya
mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan.
Firman Alloh SWT : “maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). “(QS Al-baqarah :178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta
dimana 40 ekor di dalamnya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadist Nabi
riwayat An-nasa’I (al-maliki,1990:111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham
(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1
dinar=4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1
dirham=2,975) (Al-maliki, 1990:113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang
sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian
dokter memudahkan kematiannya. Alsan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan
tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia
aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang
diberikan Alloh kepadanya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, “
tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali
Alloh menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.”
(HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia pasif :
adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak
memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan
kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernafasan buatan dari
tubuh pasien.
Sekarang bergantung kepada pengetahuan
kita tentang hukum berobat itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib,
mandub, mubah, atau makruh? Dalam masalah
ini ada perbedaan pendapat, Diantaranya:
a.
Menurut jumhur ulama, mengobati
atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama
ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah,
seperti dikemukakan oleh syaikhul islam ibnu taimiyah.
b.
Menurut Abdul Qadim Zallum,
hukum berobat adalah mandub, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadist,
dimana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di
sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang
tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadist-hadist tersebut,
adalah hadist bahwa Rasullah SAW bersabda :
1)
“sesungguhnya Alloh Azza Wa Jalla setiap kali
menciptakan penyakit, dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR
Ahmad, dari anas RA)
Hadist di atas menunjukan Rasullah SAW memerintahkan
untuk berobat.
2)
Menurut ilmu Ushul Fiqih,
perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab),
bukan menunjukan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul: al-ashlu fi
al-amri li ath-thalab
“perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukan
adanya tuntutan.” (An-nabhani, 1953)
C. Euthanasia dalam ajaran
Hindu
Definisi: dalam
ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu
terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma , moksa dan
ahimsa .
Karma adalah merupakan suatu
konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik
maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan.
Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk
adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan
dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran
Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip
"anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang
terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat
menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena
menghasilkan "karma & quot; buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan
suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik
dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu,
apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka
ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan
berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia
menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan
seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya
berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima
hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan
kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
D. Euthanasia dalam ajaran
Budha
Definisi: dalam
ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan
kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan
makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan
pada hal tersebut diatas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu
perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada
hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas
asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara
tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha
yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada
siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan
seseorang tersebut. [24]
Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim
lainnya ( Yahudi dan Kristen ), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan
mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah
yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2:
243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat
lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,"
(QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim ( dokter ) yang membunuh
seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
E. Hak pasien dan
pembatasannya
Penghormatan
hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari
seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus
mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak
sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan
pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk
memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan
informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang
jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus
orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain
disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus
menghargai pendapat-pendapat tersebut.
F.
Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
1. memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
2. membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang
sedang dihadapinya
3. mengoptimalkan system dukungan
4. membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif
terhadap masalah yang telah dihadapi
5. membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha
esa sesuai dengan keyakinannya.
G.
Beberapa
aspek euthanasia.
1.
Aspek
Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif
dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP
Pidana.
2.
Aspek Hak Asasi.
Hak
asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi
tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya
justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari
aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3.
Aspek
Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan
penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan
untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala
upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang
lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4.
Aspek
Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli
ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu
memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim
dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak
ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan
dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang
umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah
lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya,
kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal
seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya
baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan
dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa
hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil
untuk menopangnya.
H. Euthanasia dipandang dari
aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka
euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345,
dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan
yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
ü Pasal 344
KUHP
barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Untuk euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh
dokter.
ü Pasal 338
KUHP
barang siapa dngan
sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara
selama-lamanya lima belas tahun.
ü Pasal 340
KUHP
Barang siapa yang dengan
sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di hukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
ü Pasal 359
Barang siapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga
dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk
berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
ü Pasal 345
Barang siapa dengan
sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan
pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter
dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat
dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat
tahun penjara.
I. KODE ETIK INDONESIA
1.
Berpindah ke alam baka dengan
tenang daN aman tanpa penderitaan dan bagi
Mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2.
Waktu hidup akan berakhir,
diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang
3.
Mengakhiri penderitaan hidup
orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Euthanasia merupakan suatu tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
dengan tujuan meringankan penderitaan baik dengan cara positif maupun negatif.
Perbuatan itu adalah termasuk dalam
kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan.
- Saran
Setelah kita mengetahui pengertian
euthanasia dan euthanasia menurut ajaran agama-agama, kita hendaklah
mengamalkan hal yang sudah kita ketahui menurut agama yang kita anut, agar ilmu
yang kita pelajari menjadi bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
http://belajarsukes.blogspot.com/2011/03/makalah-euthanasia.html
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama
Disusun oleh,
Kelompok 6
Reguler 2
Susi
Setiawati
Resi
Selpi
Anggraeni
Eneng Silvi
Imut
Nurtitah
Widia
Ratnasari
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
KEBIDANAN
POLTEKES YAPKESBI SUKABUMI
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar